Selasa, 06 Januari 2015

Masalah HAM di Indonesia

Konflik dan Kekerasan di Kepulauan Maluku

Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia kurang lebih 3 tahun. Sebenarnya konflik ini sudah terjadi sejak tahun 1999 dan seringkali dipicu oleh TNI didaerah setempat. Untuk Maluku bagian Utara 80% relatif aman, maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah sampai saat ini belum juga aman dan khusus di daerah Kota Ambon sangat sulit untuk diprediksi.  Beberapa waktu yang lalu Kota Ambon sempat dalam keadaan tenang tetapi beberapa bulan yang lalu sampai sekarang terjadi lagi aksi kekerasan dengan modus baru ala ninja/penyusup yang melakukan aksinya di daerah perbatasan kawasan islam dan Kristen.
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat setempat telah membuat sistem  pengamanan untuk wilayah pemukimannya dengan membuat aturan masyarakat hanya dapat keluar/masuk sampai batas pukul 20.00 waktu setempat. Suasana kota masih tegang dan juga masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota. Akibat konflik ini tercatat 8000 orang yang tewas, sekitar 4000 orang luka-luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur dan ada 692.000 orang yang mengungsi di daerah terdekat. Masyarakat sekitar kini semakin tidak percaya  dengan upaya pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi saat ini.
Pada awalnya masalah ini dipicu oleh dua faktor, yang pertama didasarkan atas identitas agama, khususnya agama islam dan kristen dan yang kedua didasarkan kesenjangan ekonomi. Komunikasi sosial masyarakat tidak berjalan dengan baik, sehingga perasaan curiga antar kawasan selalu ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konflik ini terus terjadi. Banyak orang yang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di daerah Ambon ditambah dengan ketidakpastian proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini. Belum ada media informasi yang dianggap independen oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih didominasi oleh berita untuk kepentingan dari kawasan masing-masing.
            Banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk meredakan konflik yang terjadi, yaitu diantaranya:
Upaya dari masyarakat Maluku itu sendiri. Sebelum kedatangan bantuan darurat dari pemerintah pusat dan badan internasional, masyarakat bergantung pada lembaga keagamaan di Kota Ambon untuk medapatkan bantuan. Masyarakat saling menolong dan membantu satu sama lain dengan membagi persediaan makanan dan kebutuhan pokok lainnya. Tetapi pada masa ini kata “damai” dianggap sebagai hal yang tabu dalam banyak komunitas. Karena diantara masyarakat kristen mengungkapkan bahwa gereja-gereja difungsikan sebagai pusat distribusi untuk bantuan darurat, semesntara bantuan dalam masyarakat muslim dianggap kurang teratur karena masjid-masjid hanya difungsikan untuk tempat penampungan umat muslim saja. Mungkin kata damai ini diajukan karena tidak ada pertikaian atau pertengkaran yang terjadi dan tidak ada pihak ketiga yang memperkeruh keadaan pada saat itu.
Peran perempuan. Perempuan memiliki peran penting yang berpengaruh dalam keluarga. Peran perempuan sebagai istri, dapat membujuk suaminya untuk tidak terlibat pada konflik yang terjadi itu. Mereka juga dapat mendidik anak-anaknya untuk tidak  berprasangka buruk terhadap agama lain. Perempuan memainkan peran yang aktif dalam upaya penciptaan perdamaian di Ambon. Pertemuan antar agama dikalangan pengungsi perempuan tidak hanya menjamin distribusi bantuan darurat kepada pengungsi, tetapi ajang untuk rekonsiliasi antara perempuan Muslim dan Kristen. Perempuan daerah Ambon ini juga membuat sebuah organisasi Gerakan Perempuan Peduli (GPP) yang berisikan kumpulan aktivis perempuan Muslim, Protestan dan Katolik. Mereka mengorganisir aksi menentang kekerasan di Maluku bahkan ketika konflik mencapai puncaknya. Mereka juga mengatur pertemuan dengan pemerintah, pemimpin agama, dan melatih perempuan di lapangan mengenai mediasi dan konseling.

Tanggapan :
Berdasarkan pemberitaan yang ada pada saat ini dapat dibayangkan betapa mengerikannya suasana disana. Masyarakat daerah Ambon yang mengungsi pasti memiliki ketakutan yang luar biasa karena beberapa dari saudara mereka menjadi korban dari kekerasan yang terjadi di Maluku. Dari kasus diatas banyak pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi diantaranya, hak untuk hidup bagi seluruh penduduk dan hak untuk mendapat pendidikan bagi anak-anak.
Kekerasan yang terjadi tidak hanya melibatkan orang-orang dewasa tetapi anak-anak juga menjadi korban dari kekerasan tersebut. Anak-anak tidak bisa bersekolah dengan tenang, mereka merasa ketakutan karena suara-suara dentuman tembakan yang ada dimana-mana. Bahkan mereka bisa jadi tidak bisa bersekolah karena gedung sekolahnya yang sudah hancur akibat di bom. Anak-anak ini tidak hanya mendapatkan luka secara fisik saja, tetapi juga luka secara psikologis, banyak anak-anak yang mengalami trauma mendalam.
Pada dasarnya konflik yang terjadi di Maluku bukan semata-mata hanya masalah agama saja. Banyak aspek lain yang juga menjadi pemicu pecahnya konflik ini sehingga menewaskan ribuan korban. Namun, perbedaan agama yang dianut oleh masyarakat setempat menarik satu nilai penting bahwa pemicu konflik terbesar pada persengketaan Ambon tahun 1998 silam adalah karena perselisihan agama.

Solusi :
Seharusnya pemerintah dapat mengkoordinir dan mengambil alih untuk bertindak secara cepat untuk meredam konflik yang tengah terjadi. Selanjutnya, pembagian kekuasaan yang tidak merata dari agama tertentu yang menjadi salah satu pemicu konflik, sepatutnya tidak terjadi. Untuk itu, sebaiknya pembagian kekuasaan dalam memegang jabatan dilimpahkan kepada orang-orang yang menguasai bidangnya, dengan tidak memandang status agamanya. Kesadaran masyarakat juga diharapkan menjaga hubungan antar masyarakat tanpa harus memandang status sosial ekonomi dan melihat status agamanya.

Banyak usaha perdamaian yang dilakukan, tidak ada strategi pengelolaan konflik yang jelas dan sedikit koordinasi antara sejumlah tokoh di Maluku. Kurangnya koordinasi ini menjadi masalah terbesar dalam upaya penyelesaiannya.

Referensi :
http://evotama.blogspot.com/2014/10/makalah-ham-kasus-pelanggaran-ham-di.html?m=1